Budaya Antri perlu dibudayakan di Indonesia

Dalam sebuah survey di tahun 2013 terhadap para orangtua di Australia, ternyata timbul sebuah hasil yang mengejutkan. Mereka lebih khawatir anaknya tidak mengenal budaya antri dibandingkan jika anaknya mendapat nilai buruk dalam matematika. Luar biasa !

Anda merasa hal tersebut sesuatu yang aneh ? Ataukah anda merasa hal tersebut lucu dan norak? Ataukah anda bertanya apa pentingnya mengantri dibandingkan nilai 10 dalam matematika ?

Nah, jawabnya ternyata sangat mencengangkan.

Dalam sebuah mata kuliah dahulu, seorang dosen pernah menjelaskan sebuah teori mengenai “peradaban”. Pada kuliahnya dijelaskan kapan peradaban sebuah masyarakat disebut sebagai “tinggi” dan kapan dianggap “rendah”.

Inti dasarnya terdapat beberapa tolok ukur untuk menilai peradaban sekelompok manusia. Tolok ukur tersebut mulai dari tehnologi, budaya, dan sistem sosial. Nah, dalam sistem sosial tolok ukur yang dipakai adalah keteraturan masyarakatnya.

Sebuah masyarakat akan digolongkan berperadaban tinggi ketika manusia-manusia di dalamnya mematuhi sebuah aturan atau sistem yang ada. Lebih jauh lagi, bukan hanya aturan atau hukum tertulis saja melainkan juga norma dan etika yang berlaku dalam sekelompok manusia.

Jadi semakin patuh anggota masyarakat kepada hukum dan norma, maka dia termasuk dalam masyarakat berperadaban tinggi.

Mengapa demikian ? Lihat asal kata peradan, yaitu “adab”. Adab bermakna sopan santun. Seorang manusia yang tahu “adab” akan disebut beradab dan bila tidak tahu maka disebut “biadab”.

Aturan , hukum , norma adalah sistem untuk membuat anggota masyarakat tahu tentang batasan antara biadab dan beradab.

Nah, kaitannya dengan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa para orangtua di Australia lebih khawatir anaknya tidak tahu sopan santun/aturan yang diwakilkan dalam budaya antri dibandingkan hanya sekedar nilai sekolah. Hal tersebut bisa ditafsirkan bahwa mereka memiliki pemikiran lebih dalam tentang peradaban yang ingin mereka capai.

Bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Apa yang ada adalah kebalikan. Para orangtua lebih suka anaknya mendapatkan nilai 10 dibandingkan memikirkan budaya antri.

Mereka tidak akan bermasalah bila anaknya menyerobot antrian. Para orangtua tidak pusing kalau anaknya membuang sampah sembarangan (pikirnya toh masih anak kecil, harus dimaklum).

Tidak jarang, mereka bahkan mengajarkan anaknya bagaimana menyerobot antrian. Sering anak diajarkan supaya tidak peduli apa omongan orang selama mereka bisa berhasil lebih cepat.

Sebuah ironi. Padahal dari hal kecil seperti budaya antri lah peradaban masyarakat ini dilihat. Sebuah nilai di rapor tidak menghasilkan sebuah masyarakat yang teratur dan sadar aturan. Sebaliknya budaya antri akan menanamkan nilai-nilai keteraturan dalam sebuah kelompok masyarakat.

Budaya antri adalah penting untuk menuju ke sebuah peradaban yang makin tinggi dan maju. Tidak ada sekelompok manusia disebut berperadaban tinggi tanpa adanya keteraturan. Biasanya ketidakteraturan akan menghasilkan sesuatu yang kacau.

Bila dipikir lebih jauh lagi, maka akan ditemukan alasan mengapa begitu banyak pelanggaran terjadi di negara ini. Entah itu di jalan raya, di lingkungan, saling serobot mudah sekali ditemukan. Alasannya sebenarnya sederhana karena masyarakat Indonesia masih kurang mengenal makna, arti dan faedah dari budaya antri tersebut.

Kita masih sering menganggapnya sebagai sebuah hal yang sepele dan tidak perlu dipermasalahkan. Padahal itu adalah salah satu kunci menuju ke Indonesia berperadaban tinggi.

Bagaimana dengan anda ?

 

Bogor, 6 Juni 2015