Lelucon Tidak Lucu : Aturan Dibuat Untuk Dilanggar

Pernah mendengar lelucon tidak lucu ini : “Aturan Ada Untuk Dilanggar” ? Pernah? Rasanya hampir tidak mungkin tidak pernah. Dalam keseharian anekdot itu sudah sering terlontar.

Banyak pastinya juga yang menertawakan kalau mendengar hal itu. Padahal terus terang hal itu sama sekali tidak lucu dan tidak perlu ada yang ditertawakan.

Aturan atau hukum dibuat untuk menjamin keteraturan hidup antar anggota masyarakat. Sebuah jenis peraturan juga ditujukan untuk menjamin tidak adanya hak anggota masyarakat yang disita atau diambil oleh anggota masyarakat yang lain.

Peraturan atau hukum adalah cermin dari sebuah peradaban.

Sebuah masyarakat disebut berperadaban tinggi bukan karena mereka menguasai teknologi yang modern saja. Label tersebut juga diukur dari tingkat kepatuhan anggota masyarakatnya terhadap segala jenis aturan yang ada, baik tertulis atau tidak.

Heran mengapa bisa demikian?

Mengapa peradaban diukur dari tingkat kepatuhan hukum?

Pernah terpikirkan kalau asal kata “peradaban” adalah kata “adab”yang berarti kesopanan, budi pekerti, kesopanan, dan akhlak? Hal-hal yang tidak bisa terlepas dari aturan atau norma.

Seseorang yang masuk rumah orang lain tanpa izin akan disebut sebagai orang yang tidak tahu adab karena aturan/norma yang ada mengharuskan ia mendapatkan izin dari pemilik rumahnya.

Kata yang sama juga yang mendasari dua kata yang saling bertentangan, yaitu : Beradab dan Biadab.

Beradab memiliki makna tahu aturan, tahu sopan santun, dan tahu norma. Biadab adalah kebalikan dari beradab, yaitu mereka yang tidak tahu aturan, norma, dan span santun.

Itulah mengapa salah satu unsur menilai sebuah peradaban adalah hal kepatuhan terhadap aturan, hukum, norma.  Semakin tinggi peradaban sebuah masyarakat bisa dipastikan tingkat keteraturan dan kepatuhan mereka terhadap aturan semakin tinggi dan begitu juga sebaliknya.

Mengapa anekdot “Aturan dibuat untuk dilanggar” adalah lelucon tidak lucu?

Lelucon tidak lucu peraturan ada untuk dilanggarBagaimana bisa merasa lucu di saat bangsa ini memperlihatkan berbagai sikap yang menunjukkan ketidakpatuhan terhadap berbagai peraturan. Jangankan yang tidak tertulis, yang tertulis saja banyak dilanggar.

Sesuatu yang umum melihat pengguna jalan melanggar lampu lalu lintas atau masuk jalur busway. Tidak jarang mereka tidak merasa bersalah dan bahkan berani melawan petugas yang sedang menegakkan aturan.

Bukan sesuatu yang aneh melihat mobil diparkir di atas trotoar padahal dalam hukum sudah disebutkan kalau trotoar adalah untuk pejalan kaki.

Di negara ini pelanggaran hukum sudah dianggap biasa dan dimaklumi. Bahkan tidak jarang banyak orang akan menyalahkan penegak hukum jika mereka berusaha menegakkan aturan yang ada.

Lalu, pantaskah kita menyebut diri kita sebagai bangsa yang beradab dan berperadaban tinggi?  Tidak mungkin kan? Bagaimana bisa menyebut diri sebagai bangsa beradab tetapi bertingkah sebagai orang tidak beradab?

Lelucon “peraturan dibuat untuk dilanggar” jelas sekali tidak lucu. Anekdot ini mencerminkan betapa jauh bangsa ini dari yang namanya beradab.

Jadi, bagaimana bisa saya tertawa? Bisakah Anda? Kalau masih bisa, mungkin Anda tinggal pilih disebut tidak beradab atau biadab. Tinggal yang mana yang dimau saja.

(Catatan : foto-foto di artikel ini diambil di jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Cermin betapa rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia terhadap yang namanya peraturan)