Menulis Dengan Hati Itu Perlu

Menulis itu dengan tangan, alat tulis atau komputer bukan dengan hati. Biasanya seloroh atau candaan itu akan terlontar bila mendengar sebuah ungkapan yang biasa ada di kalangan penulis atau blogger, yaitu “Menulis Dengan Hati”.

Memang tepat sekali bahwa kegiatan menulis tidak akan bisa dilakukan oleh organ dalam manusia tersebut. Kegiatan merangkai kata harus dikerjakan oleh organ-organ lainnya seperti tangan, mata, kepala dan dibantu oleh alat-alat tulis. Itu adalah kenyataan yang dilihat pada keseharian.

Hanya, pernahkah kita membaca sebuah tulisan yang sama sekali tidak memberi kesan di dalam hati kita ketika membacanya. Artikel, novel atau tulisan itu seperti hanya rangkaian kata tanpa meninggalkan apa-apa di dalam hati atau pikiran kita. Setelah selesai membaca, tidak ada apapun yang tertinggal dan membuat kita mengingatnya.

Saya rasa Anda semua pernah menemukan jenis bacaan seperti itu. Banyak sekali malah. Di zaman dunia blogging yang mulai dirasuki oleh tujuan dan target untuk sukses, dalam arti materi, banyak sekali tulisan seperti itu bertebaran di dunia maya.

Mengapa bisa terjadi sebuah tulisan tidak memberikan kesan apa-apa kepada khalayak pembacanya? Jawabnya sangat sederhana, karena sang penulis tidak “menulis dengan hati”. Ia hanya mencoba merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat. Beberapa kalimat menjadi sebuah paragraf. Beberapa paragrap menjadi sebuah artikel.

Tok! Hanya itu saja. Ia lupa memberikan “jiwa” kepada tulisannya. Ia lupa memberikan “hati” pada karangannya.

Makna dan cara menulis dengan hati

Tidak pernah ada patokan atau standar pasti tentang apa dan bagaimana yang memenuhi kriteria menulis dengan hati tersebut. Meskipun demikian sebagai seorang khalayak pembaca, ada beberapa ciri dari sebuah tulisan yang tidak dilakukan dengan sepenuh hati oleh penulisnya.

1. Alur tulisan tidak runtut

Seringkali terjadi alur cerita atau plot dalam sebuah tulisan terkesan meloncat-loncat. Hubungan antar satu paragrap dengan paragrap berikutnya seperti sambungan internet yang sedang down alias tidak “nyambung”.

Biasanya, hal ini terjadi karena seorang penulis gagal menterjemahkan apa yang ia ingin sampaikan. Ide-ide masih bertebaran liar di dalam benaknya. Hal itu kemudian diterjemahkan dalam sebuah tulisan yang tidak memiliki alur yang jelas.

Tanpa kejelasan alur dalam artikel, maka tidak akan pernah ada jiwa dan hati tulisan. Tulisan seperti berbentuk fragmen-fragmen saja. Bila diibaratkan, bentuknya hanya berupa, tangan, kaki, kepala tetapi tidak ada bagian bernama hati yang menjiwai tulisannya.

2. Tidak jelas inti dari ide yang ingin disampaikan

Keinginan agar dapat menulis yang sesuai dengan SEO (Search Engine Optimization) seringkali memaksa seorang blogger mencantumkan belasan kata kunci yang dianggap akan dicari Google. Dalam pemikirannya, yang terpenting adalah agar tulisannya tampil di halaman pertama SERP (Search Engine Result Page) saja.

Tulisan dibuat sepanjang mungkin di atas 1,500 kata karena menurut para ahlinya, dengan jumlah sebanyak itu semakin besar kemungkinan tulisannya akan ditemukan sang mesin pencari.

Pemaksaan sistem seperti ini dalam menulis sering menyebabkan sang blogger atau penulis melupakan tujuannya membuat artikel itu. Mereka tidak lagi terfokus pada hal-hal dasar seperti sharing, berbagi informasi, atau memotivasi orang. Pikirannya hanya terpusat pada satu tujuan yang sebenarnya bukan tujuan utamanya.

Oleh karena itu, pemaksaan pemakaian kata kunci serampangan sering menyebabkan ketidakjelasan dalam artikel yang ditulisnya. Kata-kaa kunci bertebaran dimana-mana dan tidak sesuai konteks tulisan. Sesuatu ide yang seharusnya sederhana dibuat sepanjang mungkin agar mencapai batas 1,500 kata.

Alhasil, seringkali tulisannya tidak lagi enak dan nyaman dibaca. Bertele-tele dan sulit dimengerti karena intinya sudah dikaburkan oleh tujuan yang berasal dari ego sang penulis.

3. Tidak memiliki “style”

Setiap penulis pasti memiliki gayanya masing-masing. Tidak ada penulis yang tidak memiliki gaya. Semuanya pasti secara sadar atau tidak sadar akan memasukkan pemikirannya, perasaannya ke dalam tulisan yang dibuatnya.

Oleh karena itu seorang penulis pasti memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Itu yang disebut gaya menulis.

Hanya seringkali, seorang penulis atau blogger ingin cepat sukses. Ia lalu mencoba meniru gaya penulisan dari rekan sejawatnya yang sudah lebih dahulu mencapai kesuksesan. Apa yang dianggapnya merupakan penyebab sang rekan menjadi sukses ditirunya mentah-mentah.

Banyak tulisan para blogger di dunia maya , terutama yang sifatnya tutorial, mencerminkan hal tersebut. Cukup membaca sebuah tulisan yang manapun tentang SEO di Indonesia, berarti anda sudah membaca 10-20 tulisan sejenis tentang hal tersebut.

Mengapa bisa demikian? Meskipun sang blogger sudah berusaha untuk mengganti susunan kata atau paragrap dari sumber asalnya, ia tidak pernah menyadari bahwa ada bagian yang tidak bisa mereka rubah.

Blogger yang menjadi penulis asal tulisan yang dijadikan sumber mendapatkan hal tersebut dengan mempelajari dan berjuang keras untuk memahami. Kemudian hasil dari yang ia pelajari diterjemahkan dalam bentuk tulisannya. Itulah mengapa tulisannya terasa lebih “berjiwa” karena ia menuliskan sesuatu yang didapatnya dari hasil perjuangan. Ia “menulis dengan hati”.

Berbeda dari copy-an nya. Sering tidak terasa lagi ada “jiwa” di dalam tulisannya. Tulisannya terasa hambar karena bagian tersebut adalah bagian anti copy-paste alami. Sang penulis artikel ini biasanya lupa memahami dari mana pengetahuan tersebut berasal, sudahkah mereka mencoba untuk mempraktekkannya sendiri dan lain sebagainya.

Orang-orang seperti ini melupakan “proses” yang membentuk jiwa dan hati penulis asalnya. Kecuali ia berusaha keras untuk belajar dan memahami, alias melewati jalur yang dilalui penulis asal, maka tulisannya sering akan tetap tanpa style atau jiwa.

Meski ia tidak melakukan copy-paste dan plagiat, it akan tetap tidak memiliki style atau gaya menulis apapun. Ia hanya merupakan peniru dan peniru tidak akan bisa menulis dengan hati. Ia hanya bisa menulis ketika ada orang lain yang sudah membuatkan artikel untuk kemudian ditirunya.

——–

Itu adalah tiga ciri standar untuk mengetahui apakah sebuah tulisan dibuat dengan hati atau tidak.

Jadi bisa dikata makna menulis dengan hati adalah ketika Anda melibatkan bukan hanya tangan, mata, kepala dalam membuat sebuah tulisan. Anda harus bertanya apakah sudah melibatkan hati Anda dalam setiap tulisan yang dibuat. Apakah kita menguasai materinya , apakah kita mengerti cara menuliskannya, apakah kita paham tentang apa yang kita akan tulis adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita sendiri sebelum menulis. Anda harus bertanya pada diri sendiri, apakah hati Anda mau terlibat dalam penulisan artikel tersebut atau tidak.

Cara mengetahui apakah kita sudah menulis dengan hati atau tidak sebenarnya sederhana saja. Apakah Anda menikmati saat menulis sebuah artikel atau tidak? Kalau Anda merasa terhambat dan tidak menikmatinya, mungkin itu karena anda lupa melibatkan hati Anda.